Virtual Address

Search Engine Google, Bing, Yahoo, Baidu, Yandex and Duckduckgo

Biografi Hayam Wuruk & Fakta Kehidupannya

Mari kita bahas tuntas biografi Hayam Wuruk dan fakta kehidupannya!

Hayam Wuruk adalah raja Majapahit keempat yang memerintah sejak tahun 1350 hingga 1389. Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dengan dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Kedua orang inilah yang membawa Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Lebih dari itu, di masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit menguasai sejumlah wilayah di Nusantara. Tentunya, capaian ini juga berkat bantuan dari Gajah Mada.

Penasaran seperti apa lengkapnya biografi Hayam Wuruk dan fakta kehidupannya? Berikut pembahasan lengkap mengenai biografi Hayam Wuruk dan fakta kehidupannya.

Biografi Hayam Wuruk dan Fakta Kehidupannya

Silsilah Hayam Wuruk

Hayam Wuruk lahir pada tahun 1334 Masehi. Menurut catatan sejarah, kelahiran Hayam Wuruk berbarengan dengan peristiwa meletusnya Gunung Kelud dan gempa bumi di Pabanyu Pindah. Nama Hayam Wuruk sendiri bermakna ‘ayam yang terpelajar’.

Ibu Hayam Wuruk bernama Tribhuwana Tunggadewi. Sang ibu adalah ratu ketiga yang memimpin Kerajaan Majapahit. Adapun kakek Hayam Wuruk (ayah Tribhuwana Tunggadewi) adalah Raden Wijaya yang merupakan pendiri sekaligus raja pertama di Kerajaan Majapahit.

Ayah Hayam Wuruk bernama Sri Kertawardhana atau Cakradhara. Sang ayah merupakan penguasa di Singosari bergelar Bhre Tumapel.

Hayam Wuruk mempunyai adik kandung bernama Dyah Nertaja. Ia juga mempunyai adik angkat perempuan bernama Indudewi. Indudewi sendiri merupakan anak kandung dari adik Tribhuwana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk), Rajadewi.

Hayam Wuruk memiliki istri bernama Paduka Sori. Sejatinya, Raja Majapahit ini berniat menikahi Putri Mahkota Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, namun batal karena tragedi Bubat. Hayam Wuruk dan Paduka Sori dikaruniai anak bernama Kusumawardhani. Selain itu, Hayam Wuruk juga memiliki anak dari selirnya bernama Bhre Wirabhumi.

Kusumawardhani kemudian menikah dengan anak dari Bhre Pajang, Wikrawardhana. Sementara Bhre Wirabhumi menikah dengan putri Bhre Lasem, Nagarawardhani.

Hayam Wuruk Menjadi Raja Majapahit

Hayam Wuruk adalah Raja Majapahit keempat menggantikan ibunya sendiri, Tribhuwana Tunggadewi yang menjadi Ratu Majapahit ketiga. Hayam Wuruk naik tahta saat berusia 16 tahunm tepatnya pada tahun 1350 hingga 1389. Di bawah kekuasaan sang raja keempat inilah Kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya.

Dalam menjalankan roda kepemimpinannya, Hayam Wuruk dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada pernah menyatakan, pada Sumpah Palapa-nya, bahwa ia berambisi ingin menguasai Nusantara.

Baca Juga  Biografi Nikola Tesla & Fakta Kehidupannya

Sehingga, pada masa Raja Hayam Wuruk, Majapahit memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Adapun wilayah kekuasaan Majapahit, saat itu, menurut catatan sejarah di Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-IV, meliputi daerah-daerah Sumatera bagian barat, Maluku bagian timur, sebagian Papua dan beberapa negara di Asia Tenggara. Dengan kata lain, wilayah kekuasaan Majaphit hampir meliputi seluruh wilayah Nusantara.

Atas dasar ini, Hayam Wuruk menjadi raja yang disegani di Nusantara maupun luar Nusantara. Ia memiliki karisma yang sangat gagah sehingga dihormati oleh kawan dan lawan.

Pencapaian Hayam Wuruk di Berbagai Ekonomi

Tidak hanya memiliki wilayah kekuasaan yang luas, Kerajaan Majapahit di masa Hayam Wuruk juga mencapai puncak kejayaan di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Sektor perdagangan Majapahit, di masa Hayam Wuruk, mengalami perbaikan dan perkembangan.

Infrastruktur yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan diperbaiki, seperti jalan-jalan dan jembatan sebagai jalur untuk memperlancar lalu lintas perdagangan. Selain itu, tanggul sepanjang sungai juga diperbaiki dan dirawat agar tidak terjadi banjir.

Adapun komoditas atau barang dagangan utama Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Selain itu, menurut catatan pedagang Tiongkok bernama Wang Ta-yuan, Majapahit melakukan ekspor lada, garam, cengkeh, pala, kayu cendana, gading dan beras. Dikatakan, banyak pedagang Tiongkok membeli barang-barang tersebut.

Pencapaian Hayam Wuruk di Bidang Politik

Kehidupan perpolitikan di Kerajaan Majapahit masa kepemimpinan Hayam Wuruk berjalanan aman, tenteram dan tenang. Hayam Wuruk menerapkan sistem keterbukaan dan komunikatif terhadap masyarakat Majapahit. Ia bahkan tidak jarang melakukan keliling ke daerah-daerah untuk menyapa dan melihat langsung kondisi masyarakat Majapahit. Tindakan ini pun membuat masyarakat Majapahit terkesan terhadap Sang Raja.

Di samping itu, Kerajaan Majapahit masa kepemimpinan Hayam Wuruk juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan luar Nusantara, seperti Kerajaan Champa, Kerajaan Ayodya (Siam), Kerajaan di Kamboja dan Kerajaan di China.

Bagi Hayam Wuruk, menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di negara lain merupakan sesuatu yang sangat penting. Salah satunya untuk mengembangkan sektor ekonomi Majapahit. Mengingat, barang-barang ekspor Majapahit saat itu sangat laku di pasaran internasional.

Pencapaian Hayam Wuruk di Bidang Sosial dan Agama

Menurut catatan sejarah, kehidupan sosial di Majapahit, pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk, berjalan aman, adil dan terjamin. Majapahit juga menegakkan keadilan hukum untuk semua kalangan, tanpa pandang bulu.

Lebih lanjut, sebagaimana yang tercatat dalam Nagarakertagama pupuh 85, bahwa setiap bulan Maret-April (dulu disebut bulan ‘Caitra’), Hayam Wuruk menggelar pertemuan para menteri, perwira, pembantu baginda dan kepala daerah. Hayam Wuruk juga menyertakan kepala desa dalam pertemuan tersebut. Adapun tujuannya adalah untuk mengevaluasi kinerja pemerintahannya di daerah masing-masing. Pertemuan Caitra ini digelar setiap setahun sekali.

Baca Juga  Pengertian Audit Pemasaran Menurut Para Ahli

Di samping itu, untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama di Majapahit, Sang Raja membentuk dewan khusus bernama Dharmadhyaksa Kasaiwan, Dharmadhyaksa Kasogatan dan Dharma Upapatti. Dengan adanya para pejabat keagamaan ini, kehidupan keagamaan di Majapahit berjalan dengan baik dan toleransi.

Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam catatan Ma Huan, tokoh Tiongkok yang menulis informasi terkait tempat yang pernah ia kunjungi, salah satunya Majapahit (masa kepemimpinan Hayam Wuruk). Ma Huan mengatakan, pada masa akhir-akhir kerajaan Majapahit, sudah ada masyarakat Islam yang hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha. Semuanya, lanjut dia, hidup dengan rukun dan toleransi.

Hayam Wuruk dalam Tragedi Bubat

Tragedi Bubat merupakan peristiwa perang yang terjadi di Lapangan Bubat, pada masa kepemimpinan Raja Hayam Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1357 Masehi (1257 Saka). Adapun Lapangan Bubat merupakan salah satu tempat yang ada di lingkungan Majapahit.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sebelum menikah dengan Paduka Sori, Hayam Wuruk pernah berniat untuk menikahi Putri Mahkota dari Kerajaan Sunda/Padjajaran, Dyah Pitaloka Citraresmi.

Pernikahan mereka batal dilaksanakan karena tragedi Bubat. Kala itu, Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka hendak melaksanakan upacara di Kerajaan Majapahit. Pihak pengantin putri yang terdiri dari Dyah Pitaloka, Raja Sunda Maharaja Linggabuana, para petinggi Kerajaan Sunda dan prajurit Sunda yang berjumlah sedikit melakukan perjalanan menuju ke Kerajaan Majapahit.

Setibanya di sana, rombongan iring-iringan dari Kerajaan Sunda ini mendirikan perkemahan di Lapangan Bubat untuk beristirahat dan menunggu waktu upcara pernikahan. Hayam Wuruk selaku tuan rumah sekaligus calon pengantin lelaki berniat menemui rombongan Kerajaan Sunda di Lapangan Bubat. Namun, Mahapatih Gajah Mada melarangnya.

Bukan tanpa alasan, Gajah Mada mengatakan jika Hayam Wuruk menemui rombongan Maharaja Linggabuana, maka ia sama halnya merendahkan statusnya sebagai Raja Majapahit. Sehingga, Sang Mahapatih-lah yang menemui rombongan itu.

Gajah Mada sendiri menilai kedatangan Maharaja Linggabuana Cs sebagai ‘kesempatan emas’ untuk membuatnya tunduk terhadap Kerajaan Majapahit. Sebab, Kerajaan Sunda, saat itu, belum menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Sementara Gajah Mada, dalam Sumpah Palapa-nya, berambisi ingin menguasai Nusantara, termasuk wilayah Sunda.

Gajah Mada kemudian menemui rombongan Kerajaan Sunda di Lapangan Bubat. Ia langsung menuntut Kerajaan Sunda untuk tunduk terhadap Kerajaan Majapahit.

Merespons tuntutan itu, Maharaja Linggabuana dengan tegas menyatakan menolak untuk tunduk terhadap Kerajaan Majapahit. Sebab, tujuan Maharaja Linggabuana dan segenap keluarga besar Kerajaan Sunda ke Kerajaan Majapahit adalah untuk menikahkan Sang Putri Mahkota dengan Hayam Wuruk, bukan untuk mengakui superioritas Kerajaan Majapahit.

Lebih lanjut, pihak Kerajaan Sunda bahkan mengibarkan bendera perang di hadapan Gajah Mada. Hal ini dilakukan karena Gajah Mada terus menuntut Kerajaan Sunda tunduk terhadap Kerajaan Majapahit.

Baca Juga  Sejarah Perang Bubat: Latar Belakang-Dampak Perang

Gajah Mada, tanpa mengindahkan keputusan Hayam Wuruk yang menjadi atasannya, pada akhirnya, mengerahkan pasukannya untuk memerangi Maharaja Linggabuana dan prajurit-prajurit yang dibawanya. Betul-betul pertempuran yang tidak imbang, pasukan Gajah Mada jumlahnya sangat banyak, sementara pasukan Maharaja Linggabuana sangat sedikit. Pasukan Gajah Mada pun dengan mudah memenangkan pertempuran ini.

Adapun Maharaja Linggabuana dan hampir seluruh prajuritnya gugur dalam pertepuran itu. Calon istri Hayam Wuruk, Dyah Pitaloka yang masih hidup memutuskan untuk bunuh diri. Tindakan ini dilakukan untuk membela harga diri dan menjaga kesuciannya dari kemungkinan terjadinya pemerkosaan, penganiayaan atau dijadikan budak oleh pihak yang memenangkan peperangan.

Hayam Wuruk menyesalkan tragedi yang tak terduga tersebut. Ia kemudian mengutus seorang utusan dari Bali yang saat itu berada di Kerajaan Majapahit untuk menyaksikan pagelaran pernikahan menyampaikan permohonan maaf kepada pejabat sementara Kerajaan Sunda, Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati terkait tragedi Bubat.

Tragedi Bubat ini juga membuat hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Sekalipun Gajah Mada menjabat sebagai Mahapatih hingga wafat.

Pernikahan dengan Dyah Pitaloka yang gagal ini membuat Hayam Wuruk menikahi perempuan lain, yakni putri dari Wijayarajasa (Bhre Wengker) yang bernama Sri Sudewi yang bergelar Paduka Sori.

Kemunduran Majapahit dan Akhir Hayat Hayam Wuruk

Selain mencapai puncak kejayaan, di tangan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit juga mengalami kemunduran. Kemunduran Majapahit mulai terlihat ketika Mahapatih Gajah Mada wafat, pada tahun 1364 Masehi. Sang Raja betul-betul kehilangan Mahapatih yang bisa diandalakan dalam menjalankan roda pemerintahan Majapahit.

Hayam Wuruk sempat mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti Gajah Mada. Namun, tidak ada satu pun orang yang pantas menggantikan Gajah Mada. Sehingga, musyawarah itu memutuskan Gajah Mada pada masa hidupnya, tidak tergantikan.

Kerajaan Majapahit semakin bernasib suram ketika ibu Hayam Wuruk, Tribhuwana Tunggadewi wafat, pada tahun 1378 Masehi. 10 tahun kemudian, Sang Raja yang mengantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya, Hayam Wuruk juga wafat, tepatnya pada tahun 1389 Masehi. Menurut catatan sejarah, jenazah Hayam Wuruk dimakamkan di Tayung, Brebek, Kediri.

Kerajaan Majapahit yang telah ditinggal oleh Hayam Wuruk, Gajah Mada dan Tribhuwana Tunggadewi itu menjadi ‘tidak terurus’. Bahkan, kerajaan yang mempersatukan Nusantara itu terpecah menjadi Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan. Perpecahan ini terjadi karena perebutan kekuasaan di antara keluarga Majapahit sendiri.

Itulah pembahasan lengkap mengenai biografi Hayam Wuruk. Semoga pembahasan tentang biografi Hayam Wuruk di atas bermanfaat untuk Anda.