Virtual Address
Search Engine Google, Bing, Yahoo, Baidu, Yandex and Duckduckgo

Santuynesia – Mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah yang baru mungkin agak sulit untuk dilakukan.
Tapi, kata-kata ini menjadi trend di pegadaian syariah dalam hal penghimpunan dana dari pihak masyarakat. Lantas, apa yang mandasarinya?
Salah satu hal yang mendasari pihak pegadaian syariah berani untuk mengatakan hal tersebut yaitu terletak pada akad gadai syariah (rahn) itu sendiri.
Dimana pinjaman yang diberikan bagi orang yang sedang membutuhkan uang dengan skema rahn diharuskan untuk melengkapi permohonan peminjaman dengan menyediakan suatu aset atau barang jaminan tertentu
Sehingga apabila suatu saat peminjam tidak dapat mengembalikan uang kepada pihak pegadaian, maka pihak pegadaian dapat langsung menjual barang jaminan tersebut dan kemudian diambil sebagiannya sebagai piutang pihak pegadaian atas pinjaman yang telah diberikan.
Dari sini sudah jelas tergambar bahwa akad rahn itu sangat mudah untuk dilakukan dan tidak menimbulkan banyak masalah atau risiko.
Berikut ini sekilas paparan mengenai pegadaian syariah (rahn), mohon dibaca dengan saksama agar suatu saat dapat bertindak layaknya pihak pegadaian syariah
Menurut Institut Bankir Indonesia rahn atau disebut dengan pegadian syariah adalah kegiatan menahan harta dengan cara yang baik, harta yang ditahan tersebut haruslah memiliki nilai ekonomi, supaya pihak yang menahan harta memiliki jaminan dalam hal mengambil kembali semua piutangnya (Syafuri, 2014).
Landasan hukum yang digunakan untuk pegadian syariah antara lain yaitu:
Ayat ini menjelaskan tentang transaksi yang terjadi secara tidak tunai dan tidak adanya seorang penulis untuk mencatat transaksi yang terjadi tersebut.
Dengan demikian, Allah memerintahkan kepada orang yang bertransaksi tersebut agar menyediakan barang jaminan atau tanggungan yang dipegang oleh pihak yang berpiutang.
Hal ini bertujuan agar pihak yang memiliki piutang dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian dari piutangnya ketika pihak yang berutang tidak sanggup untuk membayar piutang (wanprestasi).
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasulullah di suatu saat pernah membeli makanan dari orang Yahudi, dan cara yang dilakukan untuk membayar makanan tersebut yaitu dengan menggadaikan baju besinya sebagai barang jaminan.
Hal ini tentunya bertujuan agar orang Yahudi tersebut yakin dan mau memberikan makanan kepada Rasul, serta tidak ada pihak yang dirugikan dengan cara yang seperti itu.
Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah telah bersabda di mana barang yang dijadikan sebagai jaminan dalam transaksi gadai tetap menjadi hak pemilik dari barang itu bukan menjadi milik orang yang menerima barang jaminan.
Dengan demikian manfaat yang timbul dari barang itu tetap menjadi hak pemilik barang, begitu juga apabila terjadi kerusakan maka pemilik barang yang akan bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Rukun pegadaian menurut kesepakatan jumhur ulama ada empat, antara lain yaitu:
Ulama fiqh menjelaskan mengenai syarat-syarat rahn, yang mana syarat-syarat rahn tersebut sangat berkaitan dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
Ulama Hanafiyah, tidak mensyaratkan harus baligh, akantetapi cukup dengan berakal saja.
Anak-anak yang sudah mampu untuk membedakan antara yang baik dengan yang buruk diperbolehkan untuk melakukan akad rahn.
Akantetapi akad rahn yang dilakukan oleh anak-anak harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari walinya.
Hendi Suhendi, menurutnya syarat untuk melakukan akad rahn yaitu ahli tasharuf (sudah mampu membelanjakan hartanya dan paham terhadap persoalan yang berkaitan dengan gadai (rahn)).
Ulama Hanafiyah, mejelaskan bahwa dalam akad rahn tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang atau syarat-syarat tertentu lainnya, karena menurutnya akad rahn sama halnya dengan akad jual-beli.
Berdasarkan Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan diperbolehkan, akantetapi harus mematuhi ketentuan di bawah ini: